Sabtu, 25 Mei 2013

Kau tanamkan nilai Islam pada diriku, terimaksih Ibu

ibu
(sumber gambar)


Assalamu 'alaikum warohmatullahi ta'alaa wabarokaatuh,,,, sobat semuanya,,,

Duduk sendirian di ruang ekstraksi laboratorium perusahaan sambil ngeliatin tetes demi tetes n-hexane (bahan kimia untuk melarutkan minyak dari kelapa sawit) menunggu kembali bening (karena bercampur dengan minyak ),,,, tiba-tiba saya teringat pada masa lalu ketika masih kecil bagaimana orang tua saya (dalam hal ini ibu) menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak-anaknya (khususnya saya). Cara ibu saya ini dulu juga dilakukan oleh ibu-ibu lainnya di sekitar tempat tinggal saya kepada anak-anaknya, tapi hal seperti itu tidak tampak lagi pada ibu-ibu jaman sekarang, hanya beberapa saja yang masih menjalankannya.

Kali ini saya ingin sedikit curhat bagaimana Ibu saya mendidik saya, mudah-mudahan ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi saya pribadi.

Saya tinggal diperkampungan, jauh dari perkotaan. Dari kota kabupaten kurang lebih 1 jam perjalanan. Karena jauh dari perkotaan, maka nilai-nilai Islam di kampung saya sangat kental, hampir di tiap desa ada pesantrenan besar, kadang 1 desa bisa 2, 3 pesantrenan. Tapi itu dulu sekitar 20 tahun lalu,,, sekarang,, pesantrenan tetap ada,, tapi nilai-nilai Islam sudah mulai luntur. Dulu, kalau anak-anak muda pacaran tidak berani main pegang-pegangan. Kalau sekarang,,,????? Jangan ditanya,,,,, gak dipegang malah nyosorrrr,,,
Duluu,,,ketahuan saja sama orangtua, anak gadisnya jalan sama lelaki lain (pacarnya),, gak lama pasti ditanya si lelaki itu sama ortu si wanita,, dan tak lama mungkin langsung dinikahkan, untuk mencegah fitnah.,,,
Kalo sekaranggg,,,,??? Masih ada sih yang kayak gitu,,, tapi banyak juga setelah anaknya buntinggg baru deh dinikahkan,,,,,, (telatttttt,,,, udah keburu malu),,,

Duluuuuu,,,wanita/gadis gak berani pake ''YOU CAN SEE LEKTOT'',,,,(,,,kamu bisa lihat kelek yang nongtot,,, :) ,,,),,, karena orangtua-orangtua pasti memarahinya sebab sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam,,,, dan budaya sekitar.
Kalo sekaranggggg ,,,, ???,,, malahan orangtuanya yang ikut-ikutan nongtotin kelek,,,, (mending kalau bulunya dicukur,,,)

Duluuuu,,,, gak ada wanita yang berani pakai celana di atas lutut, 1 senti aja gak ada yang berani,,,
Kalau sekarang,,,, ?? Masih ada sih yang gak berani,, tapi banyak juga yang gak malu,, bukan 1 senti lagi,,, malahan 1 jengkal di atas lutut,,,, masih mending kalau pahanya putih :D

Lah,,,, kok malah bahas kelek sama paha ya,,,, :D

Sory,,, ok,,kembali ke bahasan,,,

Ketika saya kecil, ketika masih duduk di kelas 3 SD suasana kampung masih jarang rumah berdiri. Disekitar masih dikelilingi leuweung awi (hutan bambu). Rumah permanen dari bata hanya beberapa saja, salahsatunya rumah ortu saya, kebanyakan rumah-rumah panggung. Jarak rumah dengan pesantrenan sekitar 500 meter, dan itu harus melewati tanah-tanah kosong, kuburan nan gelap, karena waktu itu belum semua rumah dipasangin lampu listrik, hanya yang mampu saja yang pasang listrik.

Karena suasana malam yang sepi dan agak gelap terkadang saya takut untuk berangkat ngaji (maklum masih kecil,,, rasa takut masih ada,,). Yang saya takutkan adalah ketika pulang dari pengajian dan berangkat di waktu subuh, karena belajar ngaji dimulai setelah shalat maghrib dan selesai sebelum isya/ setelah isya, dan setelah subuh. Saya tidak mondok di pesantren, sore berangkat ngaji malamnya pulang, sebelum subuh berangkat lagi dan pagi jam 6 baru pulang. Kalau di kampung saya santri seperti ini disebut ''santri kalong'',,

Disinilah peran ibu sangat membantu saya dalam belajar agama Islam, ketika berangkat sore saya sendiri, tapi ketika pulang saya suka dijemput oleh ibu. Dan sebaliknya ketika berangkat sebelum subuh saya diantar pula oleh ibu. Terkadang sehabis maghrib tanpa sepengetahuan saya, Beliau selalu mengintip saya sekedar memastikan saya ngaji atau tidak, atau saya hanya sekedar main ?. Terkadang ibu hanya mencari sandal saya untuk memastikan saya ada atau tidak. Saya tahu ini dari guru ngaji saya bahwa ibu sering memantau saya. Dan sebelum subuh ibu selalu membangunkan saya untuk berangkat ngaji, jika malas bangun, Beliau terus berusaha membangunkan saya, bahkan tidak jarang dicipratkan air ke muka saya agar saya bangun. Kalau sudah dicipratin air mau gak mau saya pun bangun, dengan perasaan malas campur ngantuk saya mandi dan pergi ke pengajian diantar ibu, sementara ibu balik lagi kerumah.

Penanaman nilai-nilai Islam terhadap saya tidak hanya sekedar antar jemput saya ke pengajian. Dirumahpun ibu terus menanamkan nilai-nilai Islam terhadap anak-anaknya, termasuk saya. Malam hari setelah saya pulang ngaji, saya, ibu, bapak (jika ada di rumah), dan kakak perempuan saya berkumpul di rumah, saya dan kakak saya memijitin kaki bapak/ibu, sembari ngumpul, ibu selalu membaca qur'an atau kitab riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dan saya selalu senang jika ibu membacakannya, seperti sebuah dongeng sebelum tidur. Tapi ini bukan dongeng, ini adalah kisah nyata yang diambil dari riwayat-riwayat para ulama. Terkadang beliau membacanya dengan melagukannya, kalau gak salah di sunda di sebut 'pupuh' , tapi entah pupuh apa yang dipakainya, yang pasti bukan 'pupuh kinanti'. Tapi saya sering minta dibacakan dengan nada biasa saja, karena kalau pakai lagu sering gak ngerti. Terkadang saya bertanya beberapa hal yang terdapat dalam cerita kelahiran nabi tersebut. Selain cerita tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW, ibu juga sering membaca cerita perjuangan cucu Rosulullah SAW, Sayyidina Hassan dan Sayyidina Husain. Dari cerita-cerita ibu itulah saya mengenal sosok seorang Rasulullah SAW dan sosok 2 cucunya.

Tak hanya sampai disitu pola penanaman Islam yang ibu berikan. Jika Beliau sedang masak di pagi hari atau sore hari, sambil masak beliau selalu melantunkan 'nadoman' (puji-pujian yang dilagukan), seperti sholawat atau hadis-hadis yang diterjemahkan ke bahasa sunda kemudian dilagukan. Tidak seperti ibu-ibu jaman sekarang, ibu-ibu jaman sekarang (tapi tidak semuanya) kalau masak / mencuci baju / gendong anaknya, mereka suka melantunkan lagu yang saya rasa kurang / bahkan jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti lagu '' nina bobo '' ketika menggendong anaknya, coba dimana nilai Islaminya ?....

Waktu terus berjalan, saya beranjak besar, ketika saya sudah duduk di SLTP - STM ibu masih terus memantau saya. Tiap masuk waktu shalat, ibu selalu mengingatkan saya. Walaupun sudah besar,, tetap saja rasa malas menghinggapi tubuhku,, kalau masuk waktu subuh,, mau bangun sangat berat rasanya,, tak jarang ibu selalu mengetuk-ngetuk pintu kamar saya untuk membangunkan saya,, jengkel ???? ,,,, terang saja jengkel,,, subuh kan waktu enak-enaknya tidur,,, tapi,, ya pada akhirnya bangun juga,,, terkadang kalau saya susah bangun, ibu mijit-mijit jempol kaki saya,, kalau masih tetap membandel,, bapak yang turun tangan,, kalau udah bapak yang turun tangan,, gak ada istilah gak bangun,,

Duluuu,, apa yang dilakukan ibu tersebut terhadap saya,, sungguh dirasakan sangat menjengkelkan,, maklumlah remaja,, yang dikedepankan nafsu dan emosi,,, tapi sekarang saya merasakan apa yang Beliau lakukan terhadap saya,,, itu semua menjadi bangunan yang sangat besar yang sekarang menjadi BENTENG iman saya. Dan sekarang saya tinggal menjaganya dan meningkatkannya...

Terimakasih ibu atas semua didikinamu, maafkanlah anakmu ini yang sampai sekarang belum bisa berbakti kepadamu. Sudah 5 tahun kita tidak bertemu,, yang kudengar hanya suara-suaramu,,, ingin kuungkapkan semua ini dihadapanmu,, tapi rasa malu masih terlalu kuat menyelimutiku,,

******

Wassalam,,,,,,

Share this:

Related Posts
Disqus Comments