Selasa, 04 Maret 2014

Hukum menggunkan kata "said" untuk Nabi Muhammad SAW

Assalamu 'alaikum,,,,

Didalam Islam banyak perbedaan femahaman, yang tak jarang menimbulkan debat kusir berkepanjangan yang tiada ujungnya. Seperti perbedaan pendapat mengenai penggunaan kata "said" / "sayyid" sebelum nama Rasulullah SAW.

Dibawah saya salin sebuah artikel yang saya ambil dari blog hab1b.blogspot.com yang kebolehan penggunaan kata 'said' berdasarkan pandangan para ulama. Semoga bermanfaat.

********Awal salinan********

Apa Hukum Menggunakan Kata "Said" Untuk Nabi Muhammad SAW Dalam Shalat Dan Diluar Shalat?

JAWABAN :

Kaum muslimin sepakat adanya siadah (sifat kepemimpinan, kemuliaan, kehormatan ) bagi Nabi SAW, Imam Syarqowi berkata:

lafaz " saidina " adalah panggilan untuk Nabi SAW. Adapun orang yang mengingkarinya dengan berdalil beberapa hadist yang dhawahirul hadistnya (tekstualnya) seperti melarang menggunaan kata "saidina" untuk Nabi SAW tidaklah benar.

Hadist yang mereka gunakan adalah:

Apa yang diriwayatkan dari Abu Nadhrah, dari Matrap Ibnu Abdillah Bin Syakhir berkata: berkata Ayahku, aku pergi bersama rombongan Bani Amir menemui Rasulullah SAW kami berkata pada Beliau:

"Anta Saiiduna" (engkau adalah pemimpin kami yang mulia), lantas Nabi SAW menjawab: "Assaidu (pemimpin yang mulia) adalah Allah SWT; kami berkata: "Engkau adalah orang yang paling baik dalam berbicara dan orang paling mulia". Rasul SAW menjawab: "Ucapkanlah apa yang terbaik menurutmu, tapi janganlah kamu mendekati perbuatan syaitan".

Dalam riwayat yang lain beliau ( Abu Nadhrah ) berkata:

Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata: "Engkau adalah said (pemimpin yang mulia) bangsa Quraisy; Nabi berkata: "Said itu adalah Allah SWT". Ia berkata lagi: "Engkau adalah orang yang paling baik dalam berbicara dan orang paling mulia". Maka Rasulullah SAW berkata : "Ucapkanlah apa yang terbaik menurutmu, janganlah kamu mendekati perbuatan syaitan".

Para Perawi hadist seperti Abu Daud dan yang lainnya menempatkan hadist ini dalam buku mereka pada bab "dibencinya sifat saling memuji". Apa yang mereka pahami dari hadist ini adalah Nabi SAW mengajarkan umatnya agar jangan saling memuji.

Ma'mar berkata: "Ada seorang laki-laki yang memuji-muji seorang pemimpin, lalu Miqdad melemparkan pasir ke wajahnya seraya berkata: "Rasulullah menyuruh kami untuk melempar pasir di wajah orang yang suka memuji-muji".(HR. Muslim, shohih muslim 4/2297 ).

Bisa dipastikan pujian dapat mendatangkan sifat menjilat dan perbuatan tercela lainnya yang berakibat bisa menjadikan seorang muslim angkuh.

Pemahaman inilah yang dipahami para ulama, Ibnu Astir berkata di dalam bukunya "An-Nihayah": "Beliau SAW berhak untuk dipanggil "saidina". Beliau enggan dipuji-puji dihadapannya (oleh karena itu beliau melarang) dan lebih memilih untuk bertawadu'". Ada hadist yang menceritakan bahwa para sahabatt berkata: "Engkau said kami", Nabi berkata: "Berkatalah dengan perkataanmu". Maksudnya panggillah aku nabi dan rasul sebagaimana Allah memangilku. Janganlah kalian panggil aku said seperti kalian memanggil pemimpin kalian, aku ini bukanlah seperti mereka yang memimpin kalian dalam urusan dunia.

Ibnu Muflih berkata tentang makna kata said: "Kata said digunakan untuk sebutan seorang pemimpin, raja, orang yang mulia, terhormat, hakim, orang yang memikul tanggng jawab dari rakyatnya, suami, ketua dan orang yang diutamakan. (Al-adab Asy-syar'iyah, Ibnu Muflih 3/456 cet. 'Alamul Kutub). Tidak diragukan lagi bila ditinjau dari maknanya, penamaan itu sesuai untuk Nabi SAW. Ibnu Mansur berkata: "Nabi SAW tidak suka dipuji-puji dihadapannya dan lebih memilih untuk bertawadu'".

Menurut hadits, secara hakikat lafaz "said" hanyalah untuk Allah SWT Apabila digunakan untuk selain Allah maka termasuk majaz. Seperti ucapan: "Dia penyayang, kata penyayang secara hakikat adalah Allah SWT.

Allah SWT berfirman: "Katakanlah, malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada tuhan-mulah kamu akan dikembalikan." (Assajadah:11).

dilain ayat Allah SWT berfirman: "Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya." (Az-zumar:42).

Bahkan Allah SWT menyebut "said" untuk seseorang yang derajatnya lebih rendah dari Nabi Muhammad SAW seperti Nabi Yahya AS, dalam firmannya: "Kemudian malaikat jibril memanggil Zakariya, sedangkan ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab, (malaikat berkata): "Sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan kelahiran putramu Yahya, yang membenarkan kalimat yang datang dari Allah, menjadi said (ikutan), menahan diri dari hawa nafsu, seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang sholeh." (Ali-Imron:39)

Oleh karena itu Nabi SAW menggunakan lafaz "said" untuk selain Allah SWT beliau menyebut sahabatnya dengan "said".

Sa'ad bin Muaz RA berkata: "Rasulullah SAW berkata kepada kaum Anshar: "Berdirilah untuk menghormati said kalian." (HR. Bukhari, Shahih Bukhari 2/900. Shahih Muslim 3/1388)

Beliau SAW juga menggunakan lafaz said untuk diri beliau. Ketika bersabda: "Aku adalah said untuk anak cucu adam pada hari kiamat, (aku) tidak sombong". (Shahih Muslim 4/1782)

Beliau SAW berkata untuk Hasan RA: "Sesungguhnya dua anak saya (Hasan dan Husain) ini adalah said". (HR. Bukhari, Shahih Bukhari 2/ 962)

Sebagian sahabat Nabi SAW memanggil beliau: "Wahai said". Sahal bin Hanif berkata: "Ketika kami berpergian kami melewati sebuah sungai, maka kami pun mandi disungai itu. Setelah selesai mandi tidak lama setelah itu kami terserang demam. Maka hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW lalu beliau bersabda: "Suruhlah Abu Tsabit untuk berta'awuz. Lalu aku berkata: "Wahai saidku, apakah rukyah itu bisa menyembuhkan. Beliau bersabda: "Rukyah itu hanyalah untuk tiga keadaan: demam, kerasukan, gigitan ular."

hadits-hadits tadi menunjukkan bahwa:

-Kata "said" secara hakiki adalah untuk Allah SWT

-Nabi SAW enggan dipuji-puji di hadapannya.

-Menggunakan lafaz "saidina" untuk beliau, atau lafaz yang digandengkan dengan nama beliau merupakan bagian dari adab kesopanan yang diakui oleh Nabi SAW dan para sahabatnya RA.

Adapun hukum menggunakan kata "said" untuk Rasulullah SAW dalam shalat, azan, dan ibadah lainnya para ulama berbeda pendapat. Di dalam buku-buku fiqh dari berbagai mazhab, sebagian ulama ada yang berpendapat sunnah hukumnya menggunakan lafaz "said" sebelum nama beliau SAW walaupun dalam ibadah seperti shalat atau azan.

Ulama Hanafiah seperti Hashkafi pengarang buku "Ad-Darul Mukhtar" berkata: "Sunnah menggunakan kata said untuk Nabi SAW karena penambahan keterangan dari yang ada adalah bagian dari adab kesopanan. Menggunakannya lebih baik dari pada tidak menggunakannya. Ulama Syafi'iah, Ar-Ramli dan yang lainnya juga berpendapat sama. Adapun riwayat yang menyatakan: "Janganlah kalian menyebutku said dalam shalat" adalah riwayat dusta. Dan riwayat "la tasiiduuni" dengan huruf "ya" adalah salah penyebutan yang benar adalah dengan huruf "waw". (la tasuduni). (Ad-darul Mukhtar, Hashkafi 1/512).

Ulama Malikiyah, An-Nafrawi mensunnahkan hal itu. Mereka berkata: "Yang demikian itu adalah bagian dari adab sopan santun, mengerjakan adab lebih baik dari pada mengerjakan perintah.

Syekh Al-Hatab Al-Maliki berkata: "Ibnu Muflih Al-Hambali berpendapat seperti itu juga".

Syeikh Izzuddin bin Abdus Salam berkata bahwa yang menyebabkan Ulama berbeda pendapat dalam mengucapkan "said" dalam shalat adalah: manakah yang lebih baik, mengerjakan perintah untuk tidak menggunakan kata "said" didalam shalat dan ibadah lainnya, atau menggutamakan adab kesopanan? Pendapat yang kuat menurut saya, dan saya mengamalkannya adalah: menggunakan lafaz "said" untuk Nabi SAW dalam shalat dan ibadah lainnya lebih diutamakan. wallahu a'lam." (Mawahibul Jalil Sharhu Mukhtashor Khalil, Muhammad bin Abdur Rahman Al- Hatab 1/21).

Dari Ulama Syafi'iyah, Syafi'i kecil (Syamsudin Ar-Ramli) berkata: "Yang lebih baik adalah menggunakan lafaz said". Pendapat ini juga diutarakan oleh Ibnu Zhahirah, pendapat banyak ulama, fatwa Ibnu Syarih. Karena mengucapkan lafaz said sebelum nama Nabi SAW adalah mengerjakan apa yang diperintahkan oleh syariat agama, dan juga penambahan kata dari apa yang ada adalah bagian dari adab kesopanan, mengerjakannya lebih baik dari pada tidak."

Imam Isnawi masih ragu mana yang lebih utama mengerjakannya atau tidak mengerjakannya.

Adapun mengenai hadist: "la tasiiduni fisshalah" (janganlah kamu menyebutku said dalam sholat), menurut para hufaz (gelar ahli hadist) hadits itu adalah bathil, tidak ada dasarnya. (Tuhfatul Muhtaj, Ar-Ramli 2/86).

Imam Ar-ramli berkata didalam kitab hasyiahnya: "Imam Al-Jalal Al-Mahalli berfatwa bahwa sebaiknya menggunakan lafaz said sebelum nama Beliau SAW karena hal itu merupakan pengamalan dari apa yang diperintahkan agama. Dan juga penambahan kata dari yang ada adalah bagian dari adab kesopanan, walaupun Imam Isnawi masih ragu mana yang lebih diutamakan; mengerjakannya atau tidak mengerjakannya. (Hasyiah Ar-Ramli 'Ala Asnal Mathalib 1/166).

Imam Syaukani berkata: "Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa menggunakan kata said sebelum nama Nabi SAW adalah bagian dari adab sopan santun. Pendapat ini didasari dari pendapat mengerjakan adab sopan santun lebih baik dari pada mengerjakan perintah. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ketika beliau diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk menjadi Imam shalat sedangkan Rasul menjadi makmum beliau tidak menaatinya. Abu Bakar berkata: "Tidaklah pantas bagi Ibnu Abi Quhafa (panggilan Abu Bakar) berada di depan sedangkan Rasulullah SAW berada di belakang.

Begitu juga dengan Ali RA beliau enggan menghapus kata "Rasul" untuk Nabi SAW dari lembaran perjanjian hudaibiyah ketika diperintahkan nabi SAW untuk menghapusnya. Beliau berkata: "Aku tidak akan menghapus namamu selama-lamanya.". Kedua hadist ini ada di dalam kitab hadist shahih. Setujunya nabi SAW terhadap sikap dua sahabat yang enggan mengerjakan perintah beliau, menandakan bahwa adab kesopanan itu lebih baik untuk diutamakan. (Nailul Authar, Imam Syaukani 2/337-338).

Dari semua penjelasan kita dapat menyimpulkan bahwa para imam mazhab fiqh syafi'iyah seperti Al-Izzu bin Abdus Salam, Ar-Ramli, Al-Qalyubi, As-Syarkawi, dan dari Hanafiyah seperti Haskafi, Ibnu Abidaini dan Imam Syaukani semuanya mensunnahkan penggunaan lafazd "saidina" sebelum nama beliau SAW baik dalam shalat, azan atau ibadah lainnya.

Adapun penggunaan lafaz "saidina" di luar ibadah, ulama tidak berbeda pendapat, mereka semua membolehkannya. Sedangkan pendapat yang menentang kesepakatan ulama ini tidaklah memiliki dalil yang kuat.

Kami pilih dan kami kuatkan pendapat yang menyatakan bahwa menggunakan adab kesopanan terhadap Rasul SAW sang pemimpin semua makhluk, kekasih Allah SWT haruslah diutamakan selalu.

Wallahu a'lam.

Sumber: Al Bayan AlQawim Li Tashhihi Ba'dul Mafahim
Karya: Dr. Ali Jum'ah
Diterjemah Kedalam Bahasa Indonesia Oleh: Muhammad Habib Effendi


************Akhir salinan*************


Artikel ini saya salin dari http://hab1b.blogspot.com/2013/09/penggunaan-kata-said-atau-sayyidina_29.html tanpa ada penambahan atau pengurangan. Semoga bisa menambah wawasan kita semua, dan menambah sikap saling menghargai perbedaan antar sesama muslim.

Wassalam,,,

Share this:

Related Posts
Disqus Comments